Sering sekali
kita mendengar mengenai sejarah para pemikir dari dunia barat tak terkecuali di
bidang kedokteran. Penemuan-penemuan mereka masih digembar-gemborkan hingga
saat ini. Tapi pernahkah sistem pengajaran di tempat kita (selain pelajaran
Agama Islam) mengemukakan penemuan-penemuan para ilmuwan Islam. Saya rasa belum
ada kecuali bagi mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah Islam.
Pada jaman
peradaban kuno dahulu seseorang tidak hanya mengusasai satu keilmuan saja.
Hampir semua teori mereka pelajari; sebagai contoh adalah Aristoteles, Ibnu
Sina, Rufus of Ephesus, dll.
A.Latar
Belakang Lahirnya Kedokteran Islam
Pada sub-bab ini
saya tampilkan tulisan dari aanchoto
(http://smaniva.blogspot.com), karena menurut saya
tulisannya sudah tersusun sistematis dan rapi. Berikut tulisannya:
`’Ilmu kedokteran
tak lahir dalam waktu semalam,” ujar Dr Ezzat Abouleish MD dalam tulisannya
berjudul Contributions of Islam
to Medicine. Studi kedokteran yang berkembang pesat di era modern
ini merupakan puncak dari usaha jutaan manusia, baik yang dikenal maupun tidak,
sejak ribuan tahun silam.
Saking
pentingnya, ilmu kedokteran selalu diwariskan dari generasi ke generasi dan
bangsa ke bangsa. Cikal bakal ilmu medis sudah ada sejak dahulu kala. Sejumlah
peradaban kuno, seperti Mesir, Yunani, Roma, Persia, India, serta Cina sudah
mulai mengembangkan dasar-dasar ilmu kedokteran dengan cara sederhana.
Orang Yunani Kuno
mempercayai Asclepius sebagai dewa kesehatan. Pada era ini, menurut penulis Canterbury Tales, Geoffrey
Chaucer, di Yunani telah muncul beberapa dokter atau tabib terkemuka. Tokoh
Yunani yang banyak berkontribusi mengembangkan ilmu kedokteran adalah
Hippocrates atau `Ypocras’ (5-4 SM). Dia adalah tabib Yunani yang menulis
dasar-dasar pengobatan.
Selain itu, ada
juga nama Rufus of Ephesus (1 M) di Asia Minor. Ia adalah dokter yang berhasil
menyusun lebih dari 60 risalat ilmu kedokteran Yunani. Dunia juga mengenal
Dioscorides. Dia adalah penulis risalat pokok-pokok kedokteran yang menjadi
dasar pembentukan farmasi selama beberapa abad. Dokter asal Yunani lainnya yang
paling berpengaruh adalah Galen (2 M).
Ketika era
kegelapan mencengkram Barat pada abad pertengahan, perkembangan ilmu kedokteran
diambil alih dunia Islam yang tengah berkembang pesat di Timur Tengah. Menurut
Ezzat Abouleish, seperti halnya lmu-ilmu yang lain, perkembangan kedokteran
Islam melalui tiga periode pasang-surut.
Periode pertama
dimulai dengan gerakan penerjemahan literatur kedokteran dari Yunani dan bahasa
lainnya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-8
Masehi. Pada masa ini, sarjana dari Syiria dan Persia secara gemilang dan jujur
menerjemahkan litelatur dari Yunani dan Syiria kedalam bahasa Arab.
Buah pikiran para
tabib di era Yunani Kuno secara gencar dialihbahasakan. Adalah Khalifah
Al-Ma’mun dari Diansti Abbasiyah yang mendorong para sarjana untuk
berlomba-lomba menerjemahkan literatur penting ke dalam bahasa Arab. Khalifah
pun menawarkan bayaran yang sangat tinggi, berupa emas, bagi para sarjana yang
bersedia untuk menerjemahkan karya-karya kuno.
Sejumlah sarjana
terkemuka ikut ambil bagian dalam proses transfer pengetahuan itu. Tercatat
sejumlah tokoh seperti, Jurjis Ibn-Bakhtisliu, Yuhanna Ibn
Masawaya, serta Hunain Ibn Ishak ikut menerjemahkan literatur
kuno. Selain melibatkan sarjana-sarjana Islam, tak sedikit pula dari para penerjemahan
itu yang beragama Kristen. Mereka diperlakukan secara terhormat oleh penguasa
Muslim.
Proses transfer
ilmu kedokteran yang berlangsung pada abad ke-7 dan ke-8 M membuahkan hasil.
Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu
pesat. Sejumlah RS (RS) besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam, RS tak hanya
berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga
menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru.
Tak heran, bila
penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu medis
baru. Era kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter
terkemuka dan berpengaruh di dunia kedokteran, hingga sekarang. `’Islam banyak
memberi kontribusi pada pengembangan ilmu kedokteran,” papar Ezzat Abouleish.
Sekolah
kedokteran pertama yang dibangun umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah
Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis
Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang
diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Era kejayaan Islam
telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi,
Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon.
Al-Razi (841-926
M) dikenal di Barat dengan nama Razes. Pemilik nama lengkap Abu-Bakr Mohammaed
Ibn-Zakaria Al-Razi itu adalah dokter istana Pangerang Abu Saleh Al-Mansur,
penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi dokter kepala di RS
Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Salah satu buku kedokteran yang
dihasilkannya berjudul ‘Al-Mansuri’ (Liber Al-Mansofis).
Ia menyoroti tiga
aspek penting dalam kedokteran, antara lain; kesehatan publik, pengobatan
preventif, dan perawatan penyakit khusus. Bukunya yang lain berjudul
‘Al-Murshid’. Dalam buku itu, Al-Razi mengupas tentang pengobatan berbagai
penyakit. Buku lainnya adalah ‘Al-Hawi’. Buku yang terdiri dari 22 volume itu
menjadi salah satu rujukan sekolah kedokteran di Paris. Dia juga menulis
tentang pengobatan cacar air.
Tokoh kedokteran
lainnya adalah Al-Zahrawi (930-1013 M) atau dikenal di Barat Abulcasis. Dia
adalah ahli bedah terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di
Universitas Cordoba. Dia menjadi dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman
III. Sebagain besar hidupnya didedikasikan untuk menulis buku-buku kedokteran
dan khususnya masalah bedah.
Salah satu dari
empat buku kedokteran yang ditulisnya berjudul, ‘Al-Tastif Liman Ajiz’an
Al-Ta’lif’ - ensiklopedia ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku itu
digunakan di Eropa hingga abad ke-17. Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk
mengendalikan pendarahan. Dia juga menggunakan alkohol dan lilin untuk
mengentikan pendarahan dari tengkorak selama membedah tengkorak. Al-Zahrawi
juga menulis buku tentang tentang operasi gigi.
Dokter Muslim
yang juga sangat termasyhur adalah Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M). Salah
satu kitab kedokteran fenomela yang berhasil ditulisnya adalah Al-Qanon fi Al-
Tibb atau Canon of Medicine.
Kitab itu menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang berisi
satu juta kata. Hingga abad ke-17, kitab itu masih menjadi referensi sekolah
kedokteran di Eropa.
Tokoh kedokteran
era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M). Dokter
kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi sarjana di di Eropa.
Kontribusinya dalam dunia kedokteran tercantum dalam karyanya berjudul ‘Al-
Kulliyat fi Al-Tibb’ (Colliyet). Buku itu berisi ramngkuman ilmu kedokteran.
Buku kedokteran lainnya berjudul ‘Al-Taisir’ mengupas praktik-praktik
kedokteran.
Nama dokter
Muslim lainnya yang termasyhur adalah Ibnu El-Nafis (1208 - 1288 M). Ia
terlahir di awal era meredupnya perkembangan kedokteran Islam. Ibnu El-Nafis
sempat menjadi kepala RS Al-Mansuri di Kairo. Sejumlah buku kedokteran
ditulisnya, salahsatunya yang tekenal adalah ‘Mujaz Al-Qanun’. Buku itu berisi
kritik dan penmbahan atas kitab yang ditulis Ibnu Sina.
Beberapa nama
dokter Muslim terkemuka yang juga mengembangkan ilmu kedokteran antara lain;
Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang dokter yang terkemuka di Spanyol; Ibnu Tufails
tabib yang hidup sekitar tahun 1100-1185 M; dan Al-Ghafiqi, seorang tabib yang
mengoleksi tumbuh-tumbuhan dari Spanyol dan Afrika.
Setelah abad
ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan sarjana-sarjana Islam mengalami masa
stagnasi. Perlahan kemudian surut dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya
era kejayaan Islam di abad pertengahan.
B.Ibnu
Sina
Ibnu Sina atau
yang sering juga disebut Avicena ini bernama asli Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina
adalah seorang Persia yang lahir pada tahun 370 Hijriyah atau sekitar 980
Masehi di sebuah desa yang bernama Khormeisan(sumber lain menyebut dengan
Afsyahnah) dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian sekarang
Persia, Iran). Sejak kanak-kanak, Ibnu Sina yang bermadzhab Ismailiyah ini
sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang diajarkan ayahnya. Pada
waktu itu, ayahnya adalah seorang gubernur di suatu daerah pemukiman bernama
Nuh Ibnu Mansur yang merupakan bagian Afghanistan(dan juga Persia, Iran).
Ayahnya ini menginginkan anaknya dididik dengan baik di Bukhara. Karena kecerdasannya
yang sangat luar biasa, seorang guru sampai sempat berpesan kepada ayahnya agar
kelak Ibnu Sina jangan sampai terjun ke dalam pekerjaan apapun selain hanya
untuk menimba ilmu.
Ibnu Sina secara
cepat dapat mengusasai banyak keilmuan di usia muda, dan beliau menjadi
terkenal hingga suatu saat ketika beliau masih berumur 17 tahun diberi
kehormatan untuk memeriksa keadaan Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang saat itu
sedang menderita penyakit yang kronis pada perutnya, yang saat itu
dokter-dokter istana tidak mampu untuk menanganinya. Karena keberhasilannya
ini, beliau akhirnya diijinkan untuk memasuki perpustakaan istana Samani yang
besar. Beliau mengatakan hampir semua buku yang dicarinya sejak dahulu ada di
situ, dan banyak buku-buku luar biasa yang belum pernah diketahuinya. Beliau
banyak menyibukkan diri di sini sembari menuliskan karya-karyanya seperti
Al-Qanun(di sumber lain dikatakan bahwa kitab Al-Qanun Fi Al-Tibb ini mulai
dituliskan di kota Rayy dan Hamadan) yang berisi masalah-masalah di bidang
kedokteran, dan Al-Syifa̢۪ yang merupakan ensiklopedi masalah-masalah
filsafat. Karya-karya besar inilah yang nantinya akan memberi banyak manfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Kenapa dua kitab ini yang paling sering
disebut-sebut?Sebagaimana diketahui, sekalipun Ibnu Sina pandai dalam banyak
ilmu pengetahuan(seperti matematika, metafisika, astronomi, logika, falsafah,
tafsir, politik, dan bahkan musik), tetapi ilmu filsafat dan kedokteran inilah
yang sama-sama kuat berada dalam dirinya.
Jika kalian
mencoba membayangkan seberapa jauh kecerdasan seorang Ibnu Sina, maka akan saya
berikan contohnya; Ketika berumur sepuluh tahun, beliau sudah berhasil untuk
menghafal Al-Qurân(sumber lain mengatakan 5 tahun); Umur 16 tahun beliau sudah
berhasil menjadi tabib yang terkenal hingga akhirnya dia mendapat penghormatan
seperti disebut di atas pada umur 17 tahun, dan umur 18 tahun beliau sudah
terkenal sebagai seorang dokter.
C.Pengembaraan
Sang Ibnu Sina
Jika kalian pikir
bahwa keilmuan Ibnu Sina hanya berasal dari satu guru yang ditunjuk ayahnya
tersebut, kalian salah besar. Beliau bukan orang yang cerdas hanya karena
faktor keberuntungan berada dalam keluarga yang mampu. Ibnu Sina mulai belajar
sendiri ketika umur 16 tahun dan beliau terkenal dengan citranya sebagai
seorang pengembara. Pengembaraannya inilah yang akhirnya menemukan beliau pada
guru-guru yang baru. Awal pengembaraannya dimulai setelah hari kematian
ayahnya(tetapi di sumber lain dikatakan bahwa ayahnya meninggal saat usia Ibnu
Sina 22 tahun). Tempat yang menjadi tujuan awal pengembaraan setelah hari duka
tersebut adalah Jurjan, sebuah kota besar di Timur Tengah. Di sini Ibnu Sina
bertemu dengan seorang guru bernama Abu Raihan Al-Biruni yang merupakan
sastrawan dan ulama besar.
Setelah itu,
beliau melanjutkan perjalanan ke Rayy dan selanjutnya Hamadan(Iran). Di tempat
ini beliau banyak berjasa terhadap raja Hamadan. Di sepanjang pengembaraannya
tadi, beliau tak henti-hentinya menuliskan ilmu-ilmu pengetahuan baru yang
tertuang dalam kitab-kitab.
Tetapi perlu
diketahui, bahwa sebenarnya yang menjadi guru awal bagi Ibnu Sina adalah
ayahnya sendiri yang bernama Abdullah Natalia, seorang alim yang memperoleh
keilmuannya di bidang kedokteran dari seorang kristian bernama Isa Yahya.
D.Keilmuan
yang Tak Pernah Mati
Sampai saat ini,
keilmuan Ibnu Sina masih banyak digunakan di seluruh dunia. Sebagai contoh,
sampai abad ke-17 kitab Al-Qanun(The Canon of Medicine) masih menjadi referensi
di sekolah kedokteran Eropa. Dan saat ini kitab itu disimpan di universitas
Oxford, Amerika.
Lalu, kenapa
kitab Ibnu Sina lebih diperhitungkan daripada kitab seorang filsuf Yunani yang
terkenal Aristoteles, padahal buku terjemahannya menjadi sumber bacaan Ibnu
Sina itu sendiri? Saat itu karangan Aristoteles banyak yang hilang, dan
sekalipun ditemukan, susunan karangan Aristoteles sulit dipahami, tidak seperti
tulisan Ibnu Sina yang tersusun secara sistematis dan lengkap. Sampai-sampai
ada seorang filosof Eropa Barat yang terkenal pada abad pertengahan bernama
Roger Bacon mengatakan â€Å“Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak
dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan
sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan
digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebeleah
Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain
membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan
keterangan yang luas.â€
Dalam bidang materia medica (pengobatan),
Ibnu Sina menemukan banyak bahan nabati baru seperti Zanthoxyllum budrunga, dimana
tumbuh-tumbuhan ini banyak membantu dalam mengobati radang selaput otak
(meningitis).
Ibnu Sina juga
menemukan teori sistem peredaran darah manusia untuk yang pertama kalinya, 600
tahun sebelum William Harvey akhirnya juga mengemukakan teori ini yang
sebenarnya hanya menyempurnakan teori dari Ibnu Sina.
Beliau jugalah
yang pertama kali mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas
dan kemudian menjahitnya.
|

Comments
Post a Comment