Apabila perilaku berhubungan dengan
sikap atau karakteristik personal, berarti dengan melihat perilakunya dapat
diketahui dengan pasti sikap atau karakteristik orang tersebut. Hubungan yang
demikian adalah hubungan yang dapat disimpulkan (correspondent inference).
(Jones & Davies) ada beberapa faktor
yang dapat dijadikan faktor untuk menarik kesimpulan tentang apakah suatu
perbuatan disebabkan oleh sifat kepribadian atau disebabkan oleh faktor tekanan
situasi. Bila diantara ketiga faktor tersebut di bawah ini ada disaat seseorang
melakukan suatu perbuatan, maka tindakan orang tersebut disebabkan oleh sifat
kepribadian (disposisional) orang tersebut.
· Non
Common Effect
Situasi dimana penyebab dari
tindakan yang dilakukan seseorang adalah sesuatu yang tidak disukai oleh orang
pada umumnya. (misal : Seorang pria menikah dengan seorang wanita yang kaya,
pintar tetapi tidak cantik dan sudah tua. Sifat-sifat yang tidak umum ini (Tua dan
tidak cantik) inilah yang disebut sebagai non common effect. Orang akan segera
saja menyimpulkan bahwa pria itu memiliki sifat-sifat kepribadian yang
meterialistic. Mengapa demikian? Sebab umumnya pria tidak menyukai menikah
dengan wanita yang buruk rupa dan tua usianya. Sebaliknya pria umum menyukai
menikah dengan wanita yang elok parasnya, banyak hartanya, muda usianya, sehat
tubuhnya dan sebagainya.
· Freely
Choosen Act
Banyak tindakan yang dilakukan oleh
orang dikarenakan oleh paksaan situasi. (misalnya: seorang wanita muda harus
menikah dengan seorang duda kaya yang berusia tua. Wanita itu menikah karena
dipaksa oleh orang tuanya. Dari peristiwa itu, sangatlah sulit bagi kita untuk
mengatakan bahwa wanita tersebut adalah seorang yang materialistik yang mengejar
harta si duda. Tetapi kalau dia sendiri yang ingin menikah dengan duda tersebut
sedangkan orang tuanya tidak menyarankan maka dengan mudah kita menarik
kesimpulan bahwa wanita itu materialistik. Sebab tindakan untuk menikah dengan
duda adalah tindakan atas pilihannya sendiri, bukan tekanan situasi.
· Low
Social Desirability (menyimpang dari kebiasaan)
Kita akan dengan mudah menarik
kesimpulan bahwa seseorang memiliki kepribadian tertentu yang tidak wajar bila
orang itu menyimpang dari kebiasaan umum. (misal : Jika seseorang menghadiri
upacara kematian biasanya orang harus menujukkan roman muka yang sedih dan
berempati pada ahlul duka. Kalau orang yang melayat menujukkan hal yang
demikian akan sulit bagi kita unyuk mengatribusikan bahwa orang itu orang yang
empatik, karena memang begitulah seharusnya. Tetapi bila orang layat lalu
menujukkan kegembiraan dengan tertawa terbahak-bahak di saat orang lain susah,
maka mudah untuk kita simpulkan bahwa kepribadian orang tersebut agak kurang
beres.
2.
Model
of Scientific Reasoner dari Harold Kelley (1967,1971)
Harold Kelley mengajukan
konsep-konsep untuk memahami penyebab perilaku seseotang dengan memandang
pengamat seperti ilmuwan, disebut ilmuwan naif. Untuk sampai pada suatu
kesimpulan atribusi seseorang, diperlukan 3 informasi penting. Masing-masing
informasi juga harus menggambarkan tinggi rendahnya.
a. Distinctiveness
Konsep ini merujuk pada bagaimana
seseorang berperilaku dalam kondisi yang berbeda-beda. Distincveness yang
tinggi terjadi apabila orang yang bersangkutan mereaksi secara khusus pada
suatu peristiwa. Sedangkan distincveness rendah apabila seseorang merespon sama
terhadap stimulus yang berbeda.
b. Konsistensi
Hal ini menunjuk pada pentingnya
waktu sehubungan dengan suatu peristiwa. Konsistensinya dikatakan tinggi
apabila seseorang merespon sama untuk stimulus yang sama pada waktu yang
berbeda. Apabila meresponsnya tidak menentu, maka seseorang dikatakan
konsistensinya rendah.
c. Konsensus
Apabila orang lain tidak bereaksi
sama dengan seseorang, berarti konsensusnya rendah dan sebaliknya. Selain itu
konsep tentang konsensus selalu melibatkan orang lain sehubungan dengan
stimulus yang sama.
Dari ketiga informasi tersebut di
atas, dapat ditentukan atribusi pada seseorang. Menurut Kelley, ada 3 atribusi,
yaitu :
a. Atribusi
Internal
Dikatakan perilaku seseorang merupakan gambaran dari
karakternya, bila distinctiveness-nya rendah, konsensus-nya rendah dan
konsistensi-nya tinggi.
b. Atribusi
Eksternal
Dikatakan demikian apabila ditandai dengan
distinctiveness yang tinggi, konsensus tinggi dan konsistensi-nya juga tinggi.
c. Atribusi
Internal – Eksternal
Hal ini ditandai dengan distincveness yang tinggi,
konsensus rendah dan konsistensi yang tinggi.
3.
Atribusi Keberhasilan dan Kegagalan
dari Weiner
Ada 2 dimensi pokok :
a.
Keberhasilan dan kegagalan memiliki
penyebab internal atau eksternal.
b.
Stabilitas penyebab : stabil atau tidak
stabil.
Dari 2 dimensi tersebut dapat dilihat ada 4
kemungkinan, sbb :
LOC/Kestabilan
|
Tidak stabil
(temporer)
|
Stabil (permanen)
|
Internal
|
a. Usaha
b. Mood
c. Kelelahan
|
a. Bakat
b. Kecerdasan
c. Karakteristik
Fisik
|
Eksternal
|
a. Nasib
b. Ketidaksengajaan
c. Kesempatan
|
Taraf Kesulitan Tugas
|
LOC = Locus of Control
Pada
tahun 1982, Weiner memperluas model atribusinya dengan menambahkan satu dimensi
lagi di dalam dimensi penyebab internal-eksternal, yaitu dimensi dapat atau
tidaknya penyebab itu terkontrol (controllable). Contohnya untuk
atribusi internal-stabil terkontrol adalah sukses karena bakat yang luar biasa
sehingga jarang mengalami kegagalan.
Referensi
Hartati, Sri. (2012).
Pendekatan kognitif untuk menurunkan kecenderungan perilaku deliquensi pada remaja. Jurnal humanitas, IX (2), 123-146.
Padang: IAIN Imam Bonjol Padang.
Juneman. 2011. Teori-Teori Transorientasional dalam
Psikologi Sosial. “HUMANIORAVol.2 No.2 Oktober 2011: 1351-1367”. Jakarta:
BINUS University
Novitasari, Yomi.
(2013). Penerapan cognitive behavior
therapy (CBT) untuk menurunkan kecemasan pada anak usia sekolah. Skripsi Psikologi.Depok: Universitas
Indonesia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/

Comments
Post a Comment